Aksara Jawa ialah sebuah wujud kekayaan literasi nenek moyang Indonesia penutur bahasa Jawa.
Meskipun tidak banyak digunakan untuk berkomunikasi sehari-hari, tapi banyak sekolah di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur yang masih tetap mengajarkannya.
Penulisan hurufnya diawali dengan Hanacaraka dan dilanjutkan dengan baris-baris selanjutnya yang masing-masing memiliki makna.
Ada suatu dongeng legenda yang mempesona di balik asal seruan aksara Jawa. Inilah cerita selengkapnya.
Baca juga: Pawang Hujan, Ritual Masyarakat untuk Mengendalikan Cuaca
Ajisaka dan satu pengawalnya pergi dari Majethi ke Medangkamulan

(foto: onokopo)
Asal ajakan aksara Jawa tidak lepas dari dongeng legenda Ajisaka yang dikenal masyarakat Jawa selaku sosok yang sakti. Dikisahkan bahwa zaman dulu, Ajisaka dari Pulau Majethi punya pengawal yang bernama Dora dan Sembada.
Suatu ketika, Ajisaka pergi berkelana dan meninggalkan kampung halamannya di Pulau Majethi. Pengawal yang berjulukan Dora diminta untuk menemani.
Pengawal yang bernama Sembada diminta tetap tinggal di Pulau Majethi demi menjaga keris pusaka yang dimiliki Ajisaka agar tidak diberikan ke siapapun.
Setelah berangkat, Ajisaka dan Dora datang di kerajaan yang berjulukan Medangkamulan yang suasananya sedang sepi.
Seorang rakyat kerajaan memberi kabar bahwa raja Medangkamulan yang berjulukan Dewatacengkar adalah pemakan insan.
Raja Medangkamulan bahagia mengkonsumsi manusia, rakyat pun merasa khawatir

(foto: poskata)
Sifat raja Dewatacengkar bengis dan kejam sejak mengkonsumsi manusia, padahal dulu bijaksana. Suasana di kerajaan pun menjadi kian mencekam.
Ajisaka terkejut ketika mengetahui rakyat panik. Akhirnya disusunlah siasat untuk melepaskan cemas rakyat dari rajanya sendiri.
Sebagai sebuah seni manajemen, Ajisaka berjumpa patih dengan maksud menyerahkan diri untuk jadi santapan sang raja.
Patih tidak menyepakati alasannya merasa kasihan, namun Ajisaka memaksa dan alhasil patih menyetujui permintaannya.
Ajisaka mengaku bersedia jadi suguhan raja jika permintaannya dipenuhi. Raja pun baiklah, kemudian menanyakan perihal usul Ajisaka. Ternyata permintaannya adalah tanah yang seluas sorban di kepalannya.
Raja Dewatacengkar menilai undangan seperti itu sangat remeh. Tapi kemudian raja kaget dikala mengukur tanah dengan sorban Ajisaka. Sorbannya melebar menjadi panjang tidak terhingga.
Ajisaka menjadi raja dan meminta pengawalnya untuk mengambil pusaka

(foto: museumnusantara)
Kain sorban yang terus meluas kemudian mendorong raja hingga jatuh ke pantai selatan dan berubah jadi buaya putih.
Mendengar kabar berubahnya raja jadi buaya, maka rakyat bahagia sebab tidak lagi takut untuk jadi korban hidangan berikutnya.
Ajisaka dinobatkan menjad raja pengganti di Medangkamulan. Ajisaka meminta Dora untuk mengambil pusaka ke tempat asal di Pulau Majethi. Di Pulau Majethi, Dora bertemu Sembada untuk meminta pusaka.
Padahal Sembada telah diberi pesan untuk tidak memberikannya pada siapapun. Meskipun Dora menyampaikan bahwa kedatangannya yakni perintah Ajisaka, tetapi Sembada tetap teguh pendirian.
Keduanya lantas berdebat sebab melakukan peran masing-masing, sampai bertarung dan menjadikan pertumpahan darah. Dora dan Sembada pun tewas balasan bertarung melakukan perintah dari tuan yang sama.
Baca juga: Tradisi Subak, Sistem Irigasi Sawah di Bali yang Terlihat Indah
Hanacaraka mulai dibuat untuk mengingat pengawal Ajisaka yang tewas

(foto: linguistikid)
Ajisaka mendengar kabar tewasnya Dora dan Sembada dan tentu saja sangat menyesal.
Demi mengingat kejadian pertandingan dua pengawalnya, dibuatlah formasi huruf sarat makna yang kini menjadi aksara Jawa atau juga dikenal dengan Hanacaraka.
Penulisan karakter Jawa diawali dengan Hanacaraka dan dilanjutkan dengan baris-baris selanjutnya. Ada beberapa kaidah penulisan yang digunakan.
Bukan cuma aksara biasa sebagaimana alfabet, tapi di dalamnya ada makna yang mendalam dan petuah yang bijaksana.
Inilah formasi suku kata dan maknanya:
Hanacaraka = ana wong loro (ada dua orang)
Datasawala = Padha kerengen (saling tubruk)
Padhajayanya = padha jayane (sama kuatnya)
Magabhathanga = merga dadi bathang (maka dari itu jadilah bangkai semuanya)
Sudah mampu dipelajari masyarakat sehabis melewati kemajuan ratusan tahun

(foto: jatengonline)
Aksara Jawa sebetulnya yakni adonan dari abjad Abugida dan Kawi telah ada sejak periode 8-16 M.
Dilihat dari suku katanya, huruf Jawa mewakili dua karakter yakni vokal dan konsonan. Misalnya suku kata Ha mewakili karakter H dan A, suku kata Na mewakili N dan A.
Kisah legenda Ajisaka memang merupakan legenda dan cerita pewayangan yang sudah dituturkan semenjak ratusan tahun. Hanacaraka di Jawa Tengah sudah dipakai semenjak periode ke-17 M atau semenjak berdirinya kerajaan Mataram Islam.
Lalu pada masa ke-19, baru dibuat versi cetakan agar mampu dibaca dan dipelajari oleh penduduk . Periode kemajuan Hanacaraka dibagi ke dalam empat kala, yakni;
Periode Hindu-Buddha
Pada era Hindu-Buddha, Hanacaraka dipakai untuk penerjemah Sansekerta. Tulisan-tulisannya berkembang jadi alfabet Jawa dikala ini.
Periode Islam
Perkembangan karakter Jawa pada kurun Islam terjadi pada kurun Kesultanan Demak hingga Kerajaan Pajang. Peninggalan yang terkenal kini yakni Serat Ajisaka dan Serat Suluk Wujil.
Pada era ini sudah didapatkan yang namanya abjad Rekan yang terinspirasi dari sandangan dari aksara Hijaiyah dari Arab.
Periode Kolonial
Pada abad ini penulisan Hanacaraka dan seterusnya mengacu pada ejaan atau tata tulis keluaran Sriwedari.
Periode Modern
Pada masa modern, perkembangannya dimulai dari momen pasca kemerdekaan Indonesia sampai sekarang.