Beberapa bulan terakhir ini, masker menjadi keperluan semua orang. Meskipun sebelumnya banyak yang tidak sudah biasa memakainya, masker sekarang menjadi barang wajib saat keluar rumah.
Bahkan di ruang tertutup yang memungkinkan interaksi dengan orang banyak, masker wajib dipakai selaku upaya menerapkan protokol kesehatan.
Jauh sebelum ada pandemi Covid-19, masker telah digunakan penduduk di dunia. Uniknya, masker di abad lalu tidak mirip sekarang, melainkan berbentuk mirip paruh burung.
Baca juga: Kisah Nabi Sulaiman, Bisa Bicara dengan Hewan dan Mengendarai Angin
Di dalam masker bisa diisi bahan rempah-rempah dengan aroma menenangkan

(foto: ctnews)
Bentuk masker zaman dulu tidak sederhana dan simpel mirip yang biasa kita lihat sekarang.
Memang maksudnya sama-sama untuk menghalangi persebaran penyakit di udara, tetapi ukurannya lebih besar dan lebih berat ketimbang masker zaman kini.
Bentuknya lebih mirip paruh burung dan ditawarkan ruang untuk diisi rempah-rempah atau bahan herbal yang aromanya menenangkan.
Masker yang paling renta di dunia pernah didapatkan di Eropa semenjak masa ke-14.
Jika sekarang materi masker lebih banyak dibentuk dari materi yang tipis, zaman dulu dari kain kasa atau perban yang lebih tebal.
Bentuk paruh burung bukan alasannya adalah ingin bergaya, tapi konsentrasi pada fungsinya

(foto: historytoday)
Salah satu bentuk masker yang ikonik adalah paruh burung. Pemakaiannya adalah saat benua Eropa menghadapi wabah mematikan yang diketahui dengan Black Death pada kurun ke-14. Sebanyak 200 juta jiwa meninggal.
Saat itu penduduk cemas bahwa virus menyebar melalui udara.
Dalam keadaan krisis, tentu saja paruh burung bukan untuk bergaya, namun biar para tenaga kesehatan tidak mencium amis secara langsung dari jasad insan yang membusuk karena jadi korban wabah Black Death.
Di dalam paruh burung dietakkan bahan rempah-rempah. Selain supaya bisa dihirup, rempah-rempah juga dikaitkan dengan hal mistis.
Bahan rempah-rempah dipercaya punya kekuatan asing untuk menyembuhkan. Tentunya selain penggunaan masker, ada upaya karantina yang waktu itu dijalankan di pulau terpencil.
Baca juga: Akibat Kurang Bersyukur, Negeri Saba’ yang Makmur Akhirnya Binasa
Sejak dulu, respon masyarakat tentang pemakaian masker cukup bermacam-macam

(foto: shutterstock)
Selain Black Death, ada lagi wabah mematikan yang terjadi di dunia, yakni Flu Spanyol 1918. Flu Spanyol inilah yang menjadi momen titik balik pembuatan versi masker seperti kini.
Pengaruhnya bukan hanya di Spanyol, namun juga ke beberapa negara lain. Saat diberi perintah dan ajuan memakai masker, masyarakatnya tidak pribadi patuh.
Ada negara yang pribadi menerima kebiasaan gres sebagai kebutuhan dan sebuah cara bertahan hidup. Ada lagi yang menyikapi dengan protes alasannya belum memahami urgensinya.
Sejak dulu memang selalu ada pihak yang condong suka menentang alasannya belum mengetahui sungguh-sungguh wacana ancaman virus yang menyebar.
Pihak tenaga medis juga terus berinovasi dan membuat tolok ukur keselamatan masker.
Pemerintah Hindia Belanda pernah memberi sosialisasi lewat pendekatan budaya setempat

(foto: pinterest)
Bagaimana dengan di Indonesia? Ternyata kebiasaan memakai masker juga didorong oleh upaya pemerintah Hindia Belanda.
Saat itu wilayah Indonesia pun turut waspada dengan adanya Flu Spanyol.
Pihak pemerintah Hindia Belanda juga sempat berencana baik, yakni memperlihatkan sosialisasi kepada penduduk lewat budaya lokal.
Dengan pendekatan seni tradisional seperti wayang dengan cerita Ramayana atau budaya lokal, masyarakat akan lebih terbuka dengan sesuatu yang baru.
Ditambah dengan bukti-bukti betapa besar ancaman yang mengancam kalau tidak patuh.
Meskipun ada yang masih menganggapnya asing dan tidak nyaman, usang kelamaan masyarakat mempunyai kesadaran akan pentingnya melindungi kesehatan dirinya masing-masing.